Seperti yang kujanjikan, beberapa teman kantorku akhirnya menjadi
langganan pijatan Bu Mumun setelah aku mempromosikannya. Rupanya
pijatannya benar-benar disukai para pria. Termasuk Pak Marmo, atasanku.
Bahkan ada dua temanku yang menanyakan kemungkinan untuk tidak
sekadar mendapat layanan memijat dari Bu Mumun tetapi lebih dari itu.
“Kayaknya bisa nggak To kalau Bu Mumun diajak begituan. Aku suka lho
wanita tipe seperti dia. Sudah tua tapi tubuhnya masih bagus dan
terawat,” kata Rizal, teman sekantorku suatu hari setelah hari
sebelumnya dipijat Bu Mumun di rumahnya.
Rizal juga cerita, saat dipijat ia sempat menggerayang ke balik
daster yang dipakai Bu Mumun. Tetapi ternyata, kata Rizal, Bu Mumun di
samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut juga memakai celana
dalam rangkap. “Entah rangkap berapa celana dalam yang dipakainya. Aku
sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia,” ungkap Rizal
menambahkan.
Mendengar ceritanya aku jadi ingin ketawa sekaligus bangga. Sebab ide
memakai pakaian seperti itu saat memijat memang atas saranku. Karena
kuyakin para pria pasti tertarik untuk iseng dan coba-coba. Tetapi agar
Rizal menjadi penasaran dan tetap menjadi langganan pijat, kukatakan
padanya kalau aku tidak tahu bisa tidaknya Bu Mumun memberi layanan seks
selain memijat.
“Selama ini sih aku hanya tahu ia tukang pijat yang baik dan
pijatannya enak. Kalau sampai ke masalah itu saya tidak tahu. Mungkin
kalau pendekatannya pas bisa saja ia mau melayani. Apalagi kan udah
cukup lama ia ditinggal suaminya,” ujarku.
Pria lain yang juga terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada
Bu Mumun adalah atasanku. Bahkan setelah aku sering mengantar Bu Mumun
untuk memijat, karena Pak Marmo lebih senang pijat di rumahnya, ia
menjadi semakin dekat denganku. Aku juga dipercaya memegang sebuah
proyek dengan nilai cukup besar, sesuatu yang belum pernah dipercayakan
padaku.
Menurut Pak Marmo, pijatan Bu Mumun bukan hanya enak tetapi juga
mampu menggairahkan kejantanannya. “Jangan cerita ke siapa-siapa ya.
Saya dengan ibu sudah lama tidak jalan lho. Nggak tahu kenapa. Tetapi
melihat pemijat tetanggamu itu dan mendapat pijatannya, sepertinya mulai
agak bangkit. Suaminya sampai sekarang belum pulang?” kata Pak Marmo
ketika aku menghadapnya di ruang kerja.
Pak Marmo mengundangku karena nanti malam jadwalnya dia dipijat Bu
Mumun. Tetapi menurut dia, istrinya juga ada rencana belanja ke
supermarket dan menemui salah satu koleganya pedagang permata. Selain
mengantar Bu Mumun ke rumahnya, aku diminta bantuan menyopir mobil untuk
mengantar istrinya.
Sebagai seorang bawahan terlebih karena kebaikannya mempercayakan
sebuah proyek berdana besar kepadaku, kusampaikan kesediaanku. Namun
sebelum aku keluar dari ruangannya ia kembali mencegah dan berbisik. “Eh
Ton, kira-kira bisa nggak tukang pijat itu memberi layanan lebih? Kamu
bisa bantu atur?”
Aku paham kemana arah pembicaraan atasanku itu. Maka seperti yang
kusampaikan kepada dua temanku yang menjadi langganan pijat Bu Mumun,
kukatakan bahwa selama ini yang kutahu ia hanya berprofesi sebagai
pemijat dan soal yang lain-lain belum tahu. Hanya kepada Pak Marmo
kukatakan akan mencoba melakukan pendekatan ke Bu Mumun.
Setelah keluar dari ruang kerja atasanku, aku menemui Bu Mumun.
Sambil berpura-pura cemburu kuceritakan soal ketertarikan atasanku
kepadanya. Tetapi juga kuceritakan tentang kebaikan Pak Marmo termasuk
kepercayaannya memberikan proyek besar di bawah penangananku.
Bu Mumun cerita, setiap dipijat Pak Marmo memang berusaha merayunya.
Juga berusaha menggerayang ke balik pakaian seperti temanku yang lain.
“Tetapi kelihatannya punya Pak Marmo sudah sulit bangkit kok,” ujar Bu
Mumun.
“Oh jadi cerita Pak Marmo soal kemampuan seksnya yang sudah berkurang itu bener?” Kataku pura-pura kaget.
“Jadi enaknya sikapnya gimana Pak Anto. Dia kan atasan bapak dan juga baik sama bapak,” ujarnya lagi.
Akhirnya dengan seolah-olah sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk
kuputuskan, kukatakan padanya bahwa karena kondisi kemampuan seks
atasanku tidak normal maka sebaiknya Bu Mumun membantunya. Saat memijat,
sebaiknya tidak memakai celana dalam rangkap tiga dan juga tidak
memakai celana panjang di balik daster yang dipakai.
“Maksud saya agar Pak Marmo terangsang karena dia suka sama ibu.
Memang resikonya Pak Marmo jadi leluasa menjahili ibu sih. Tetapi
niatnya kan untuk membantu menyembuhkan dia. Gimana menurut ibu?”
“Kalau itu yang terbaik menurut Pak Anto saya sih nurut saja. Tetapi Pak Anto jangan cemburu ya,”
Bu Mumun langsung kupeluk. Kukatakan padanya bahwa sebenarnya aku
sangat cemburu dan tidak suka tubuh Bu Mumun diraba dan dipegang-pegang
orang lain. Tetapi demi menolong atasanku itu dan demi membalas
kebaikannya aku akan berusaha untuk tidak cemburu. “Asal yang ini jangan
diberikan semua ke Pak Marmo ya bu. Saya suka banget dengan yang ini,”
ujarku sambil meraba memek Bu Mumun setelah menyingkap dasternya.
Tadinya aku berniat melepaskan hasratku untuk menyetubuhi tubuh
montok tetanggaku itu. Tetapi setelah saling memagut dan hendak saling
melepaskan baju, kudengar anak-anak Bu Mumun pulang dari sekolah. Hingga
kuurungkan niatku dan langsung kebur menyelinap lewat pintu belakang.
Seperti yang kujanjikan, sekitar pukul 17.00 kujemput Bu Mumun dan
kuantar ke rumah Pak Marmo. Bu Mumun memakai seragam baju terusan warna
putih seperti yang biasa dipakai suster rumah sakit. Itu memang baju
seragamnya saat memijat. Tetapi dari bentuk cetakan celana dalam yang
membayang di pantatnya yang besar, kuyakin ia tidak pakai celana panjang
dan celana dalam rangkap seperti biasanya. Rupanya ia benar-benar
memenuhi janjinya untuk melayani Pak Marmo dengan lebih baik seperti
yang kusarankan.
Kulihat Pak Marmo sedang menyiram bunga di halaman rumahnya saat aku
datang. “Eh To, silahkan masuk. Tuh istriku udah uring-uringan karena
sudah dandan dan siap berangkat,” ujarnya mempersilahkan.
Benar Bu Marmo sudah berdandan rapi dan siap pergi. Bahkan ia
langsung menyerahkan kunci kontak mobil kepadaku. “Wah ibu takut Nak
Anto telat datang. Soalnya selain belanja ibu kan harus ke rumah Bu
Ramli, jadi takut kemalaman,” kata Bu Marmo.
Bu Marmo menyapa Bu Mumun ramah dan mempersilahkan masuk ke ruang
tamu rumahnya. Ia meminta Bu Mumun menunggu karena suaminya belum mandi.
Bahkan kepada Bu Mumun juga berpesan untuk istirahat di kamar tamu
rumahnya kalau selesai memijat nanti ia belum pulang. “Santai saja Mbak
Mumun nggak usah sungkan-sungkan. Kalau mungkin nanti saya juga ikut
dipijat,” ujar Bu Marmo yang langsung mengahmpiriku yang sudah siap
dengan mobil Kijang keluaran terbaru milik keluarga itu.
Usia Bu Marmo mungkin sebaya dengan Bu Mumun. Atau boleh jadi lebih
tua satu atau dua tahun. Namun dengan pakaian stelan jas tanpa kancing
yang dipadu dengan kaos warna krem di bagian dalam serta celana panjang
ketat warna hitam senada, wanita itu tampak berwibawa.
Bau harum yang lembut dari wangi farfumnya membaui hidungku saat ia
masuk ke dalam mobil. Ia menyebut nama sebuah suoermarket ternama hingga
aku langsung menjalankan mobil perlahan. Untung aku yang biasanya hanya
memakai T shirt, tadi memutuskan memakai baju lengan panjang meski
untuk celana tetap memilih jins. Hingga tidak terlalu canggung mengantar
istri atasanku.
Ukuran dan bentuk tubuh Bu Marmo nyaris sama dengan Bu Mumun, tinggi
besar. Kakinya panjang dan kekar. Hanya perutnya relatif lebih rata,
mungkin karena rajin senam dan olahraga hingga tubuhnya tampak lebih
liat.
Awalnya pembicaraan lebih bersifat formal. Tentang bagaimana sikap
kepemimpinan suaminya di kantor dan bagaimana penilaianku sebagai
bawahan. Namun lama kelamaan perbincangan menjadi lebih cair setelah
topiknya menyangkut keluarga. “Sebentar lagi cucu saya dua lho Nak Anto.
Sebab Menik kemarin telepon katanya sudah hamil,” kata ibu beranak tiga
itu.
“Kalau ngomongnya sama orang yang tidak tahu keluarga ibu nggak akan percaya kalau ibu sudah punya cucu,”
“Lho kok?”
“Soalnya dari penampilan ibu, orang pasti mengira usianya belum 40
tahun. Soalnya ibu terlihat masih muda dan energik,” kataku memuji.
“Ah bisa saja Nak Anto. Pujiannya disimpan saja deh untuk istri Nak
Anto. Pasti istrinya cantik ya karena Nak Anto kan pandai merayu,”
Lewat kaca spion, wanita yang sehari-hari menjadi kepala sekolah di
sebuah SD itu kulihat tak mampu menyembunyikan perasaan bangganya atas
pujian yang kuberikan. Seulas senyum manis terlihat menghias wajahnya,
wajah yang masih menyimpan sisa-sisa kecantikan di usianya yang sudah
lebih dari setengah abad.
Melihat Bu Marmo aku jadi ingat Bu Mumun. Wanita itu pasti lagi sibuk
memijat tubuh atasanku. Atau boleh jadi sambil memijat ia jadi
terangsang karena tangan Pak Marmo yang menggerayang ke paha dan
selangkangan atau di memeknya yang kini hanya dibalut satu buah celana
dalam.
Membayangkan semua itu aku kembali melirik Bu Marmo yang ada di
sebelahku. Perbedaan Bu Mumun dengan Bu Marmo mungkin hanya pada warna
kulitnya. Kulit Bu Mumun lebih terang dan Bu Marmo agak gelap. Kalau
teteknya, aku berani bertaruh payudara istri atasanku ini juga cukup
besar ukurannya. Meski tertutup jas hitam dan kaos krem yang dipakainya,
tonjolan yang dibentuknya tak bisa disembunyikan.
Di luar itu, yang pasti Bu Marmo lebih wangi dan boleh jadi tubuhnya
lebih terawat. Sebab ia memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk
merawat tubuh dan membeli parfum mahal. Tetapi begitulah hidup, rumput
tetangga memang selalu nampak lebih hijau dibanding rumput di halaman
sendiri.
“Sudah berapa lama ya Pak Marmo tidak menyentuh wanita berwajah manis
ini? Ah aku juga mau kalau diberi kesempatan,” ujarku membathin sambil
melirik bentuk kakinya yang panjang dan tampak indah dibalut celana
hitam ketat.
Gara-gara terus-menerus melirik Bu Marmo, mobil yang kubawa nyaris
menabrak becak. Untung Bu Marmo mengingatkan hingga aku bisa sigap
menghindar. “Makanya jangan meleng! Kenapa sih, sepertinya Nak Anto
ngelihatin ibu terus deh,”
“Ee.. ee.. anu.. eee ibu cantik banget sih,” jawabku sekenanya.
“Hush… orang sudah nenek-nenek dibilang cantik,”
Tanpa terasa mobil akhirnya memasuki pelataran parkir supermarket
yang dituju. Tadinya aku berniat menunggu di tempat parkir sementara
istri atasanku itu berbelanja. Tetapi Bu Marmo memintaku menemani masuk
ke supermarket. Bahkan ia menggamit lenganku sambil berjalan di sisiku
layaknya seorang istri pada suami.
Sebagai anak buah dari suaminya, sebenarnya aku agak canggung. Tetapi
karena Bu Marmo terkesan sangat santai, aku pun akhirnya bisa bersikap
wajar. Bahkan setelah berkali-kali tanpa disengaja lenganku menekan buah
dada Bu Marmo yang kelewat merapat saat berjalan, aku mulai nekad
mengisenginya. Sambil berjalan, siku lengan kiriku sengaja kutekan ke
teteknya hingga kurasakan kelembutan buah dadanya.
Entah tidak tahu ulah isengku atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu,
Bu Marmo bukannya menghindar dari siku lenganku yang ‘nakal’. Sambil
terus melangkah di sisiku untuk melihat-lihat barang-barang di
supermarket posisi tubuhnya malah kian merapat. Akibatnya tonjolan buah
dadanya kurasakan ikut menekan lenganku. Aku juga mulai bisa
memperkirakan seberapa besar tetek istri atasanku itu.
Sebenarnya aku kurang begitu suka mengaantar istri berbelanja. Sebab
biasanya, istriku suka berlama-lama khususnya ketika berada counter
pakaian. Begitu pun Bu Marmo, hampir setiap baju dan gaun wanita yang
menarik hatinya selalu didekati dan beberapa diantaranya dicobanya di
kamar pas.
Namun aku yang biasanya jenuh dan menjadi bersungut-sungut, kali ini
malah menikmatinya. Sebab sambil menunggu wanita itu memilih baju-baju
yang hendak dibelinya, aku jadi punya banyak kesempatan untuk melihat
bentuk tubuh istri atasanku itu. Saat kuamati dari belakang, wanita yang
usianya sudah kepala lima itu ternyata masih lumayan seksi.
Dalam balutan celana ketat yang dipakainya, pinggul dan pantat Bu
Marmo benar-benar aduhai. Apalagi celana dalam yang dipakainya jadi
tercetak sempurna karena ketatnya celana warna hitam yang dikenakan. Aku
terus melirik dan mencari kesempatan untuk menatapnya saat Bu Marmo
membungkuk atau memilih-milih pakaian yang menjadikan posisi pantatnya
menonjol.
Saat hendak mencoba baju yang diminatinya di kamar pas, Bu Marmo
menitipkan tasnya padaku sambil meminta berada tak jauh dari lokasi
kamar pas. Lagi-lagi goyangan pinggul dan pantat besarnya menggoda
mataku saat ia melangkah. Pikiranku jadi menerawang membayangkan Bu
Mumun. Ada perasaan cemburu karena kuyakin Pak Marmo lagi berusaha
merayu atau malah sudah berhasil menaklukkan Bu Mumun dan tengah
menikmati kemontokkan tubuh wanita itu. Ah andai Bu Marmo bisa kurayu
atau membutuhkan layanan seksku, ujarku membathin.
Aku merasakan adanya peluang untuk itu ketika kudengar Bu Marmo
memanggilku dari kamar pas. Dengan tergesa aku menuju ke kamar pas yang
letaknya agak terpencil dan tertutup oleh display aneka pakaian di
supermarket tersebut. Namun di lokasi itu, istri atasanku tak kunjung
keluar dan menyampaikan maksudnya memanggilku hingga aku nekad
melongokkan kepala dengan menyibak tirai kamar pas.
Ternyata, di kamar pas Bu Marmo dalam keadaan setengah telanjang.
Karena setelah mencoba baju dan celana yang hendak dibelinya ia belum
memakai pakaiannya lagi. Hanya BH dan celana dalam krem yang menutup
tubuhnya. Maka yang semula hanya bisa kubayangkan kini benar-benar
terpampang di hadapanku.
Wanita yang usianya tidak muda lagi itu, benar-benar masih menggoda
hasratku. Teteknya nampak agak kendur, tetapi besar dan bentuknya masih
bagus. Pahanya mulus tanpa cela. Hanya meskipun perutnya tidak membuncit
seperti perut Bu Mumun, namun terlihat bergelombang dan ada beberapa
kerutan. Maklum karena faktor usia. Sedangkan gundukkan di
selangkangannya benar-benar membuatku terpana, besar dan membukit. Bisa
kubayangkan montoknya memek Bu Marmo dari apa yang tampak oleh cetakan
pada celana dalam yang membungkusnya.
Dan anehnya kendati tahu akan kehadiranku, ia tak merasa jengah atau
mencoba menutupi ketelanjangannya. Bahkan meskipun mataku terbelalak dan
terang-terangan menjilati ketelanjangannya. “Ih kayak yang nggak pernah
lihat perempuan telanjang saja. Nak tolong ke sales untuk bajunya ganti
nomor yang lebih besar sedikit. Yang ini kekecilan,” ujarnya tetap
santai.
Saat kembali seusai menukar baju pada sales, Bu Marmo memang telah
memakai kembali celana panjang warna hitamnya. Tetapi di bagian atas
tetap terbuka. Bahkan tanpa menyuruhku pergi, ia segera memakai pakaian
yang kusodorkan untuk dicobanya dihadapanku. “Menurut Nak Anto, ibu
pantes nggak pakai pakaian model seperti ini,” ujarnya meminta
komentarku.
“Ee.. ee bagus. Seksi banget,”
“Hus dimintai pendapat kok seksi.. seksi. Seksi apaan sih,”
“Ee maksud saya dengan pakaian itu ibu terlihat makin cantik dan
seksi,” kataku yang tidak berkedip menikmati kemewahan buah dadanya.
Entah karena pujianku atau menganggap baju itu memang sesuai
seleranya, Bu Marmo akhirnya memutuskan membelinya di samping beberapa
stel pakain lainnya. Hanya ketika aku menemani di counter pakaian dalam
dan ia memilih-milih BH nomor 36B, sambil berbisik kuingatkan bahwa
nomor itu terlalu kekecilan dipakai olehnya.
“Ih sok tahu,” ujarnya lirih.
“Kan tadi sudah dikasih lihat sama ibu,”
Bu Marmo mencubit pinggangku. Tetapi tidak sakit karena cubitan mesra
dan gemas. Kalau bukan ditempat keramaian, rasanya aku sudah cukup
punya keberanian untuk memeluk atau mencium istri atasanku itu.
Karenanya setelah membayar semua yang dibelinya, saat keluar dari
supermarket lengannya kugamit untuk meyakinkannya bahwa aku pun tertarik
padanya.
Seperti tujuannya semula, setelah dari supermarket Bu Marmo berniat
ke rumah temannya untuk urusan pembelian perhiasan. Tetapi menurutnya ia
agak lapar dan ingin menu ikan bakar. Maka seperti yang dimintanya,
mobil pun meluncur ke kawasan pantai di mana terdapat rumah makan yang
berbentuk saung-saung terpisah dan tersebar dan khusus menjual aneka
menu seafood.
Setelah memesan beberapa menu dan minuman, kami menuju ke salah satu
saung paling terpencil dan tertutup rimbun pepohonan. Tadinya Bu Marmo
memprotes karena menurutnya tempatnya terlalu gelap dan terpencil.
Tetapi saat tanganku melingkar ke pinggangnya dan kukatankan bahwa lebih
gelap lebih asyik, protesnya yang boleh jadi cuma pura-pura segera
berhenti dan hanya sebuah cubitan darinya sebagai jawabannya.
Dari pinggangnya tangaku meliar turun merayap di pantatnya. Dari luar
celana ketat yang dipakainya, pantat besarnya kuraba. Bokongnya yang
lebar masih lumayan padat, hanya agak sedikit turun. Dengan gemas
kuusap-usap dan kuremas pantat Bu Marmo. Lagi-lagi ia tidak menolak dan
bahkan kian merapatkan tubuhnya. Maka setelah di dalam saung, ia
langsung kupeluk dan kulumat bibirnya.
Sejenak ia tidak bereaksi. Hanya diam membiarkan lidahku bermain di
rongga mulutnya. Namun setelah tanganku merayap di selangkangannya dan
menelusup masuk ke dalamnya melalui risleting celananya yang telah
kuturunkan, pagutanku di mulutnya mulai mendapatkan perlawanan. Bibir
dan lidah Bu Marmo ikut aktif melumat dan memainkan lidahnya.
Memek istri atasanku itu tak cuma tebal, tapi juga lebar dan
membusung. Itu kurasakan saat telapak tanganku mengusap dari luar celana
dalam yang dipakainya. Tetapi nampaknya tak berambut. Permukannya
terasa agak kasar karena munculnya rambut-rambut yang baru tumbuh.
Sepertinya ia baru mencukur bulu-bulu jembutnya itu.
Namun saat aku hendak lebih memelorotkan celana panjangnya agar
leluasa meraba dan mengusap memeknya Bu Marmo mencegah. “Jangan Nak
Anto, nanti ada orang. Kan pelayan belum ke sini buat nganterin pesanan
makanan kita,” sergahya.
“Ii… ii.. iya Bu,”
Benar juga, ujarku membathin. Aku terpaksa menahan diri untuk tidak
meneruskan niatku memelorotkan celana panjang yang dipakai Bu Marmo.
Hanya usapan dan rabaanku di busungan memeknya tak kuhentikan. Bahkan
sesekali aku meremasnya dengan gemas karena keinginan untuk memasukkan
jariku ke lubang nikmatnya tak kesampaian.
Diobok-obok di bagian tubuhnya yang paling peka, kendati masih di
luar celana dalamnya, Bu Marmo mendesah. Pelukannya semakin ketat dan
lumatannya di bibirku makin menjadi. Rupanya wanita yang usianya sudah
di atas kepala lima itu mulai terbangkitkan hasratnya.
Aku dan Bu Marmo baru melepaskan pelukan dan segera berbenah setelah
dari jauh kulihat dua pelayan wanita membawa nampan berisi makanan dan
minuman yang kami pesan. Selembar uang pecahan Rp 20 ribu kusisipkan di
nampan salah satu pelayan perempuan setelah mereka selesai menghidangkan
yang kami pesan. “Terima kasih dan selamat menikmati,” kata keduanya
sambil melemparkan senyum dan beranjak meninggalkan saung yang kami
tempati.
Tetapi bukannya makanan yang terhidang yang kuserbu setelah kedua
pelayan meninggalkan saung. Dari arah belakang kudekati dan kupeluk Bu
Marmo yang di tikar saung yang menyajikan makanan secera lesehan itu.
“Tidak makan dulu Nak Anto?” ujar Bu Marmo.
Tetapi aku tak peduli pada apa yang dikatakan istri atasanku itu.
Hasrtaku lebih besar untuk segera menikmati kehangatan tubuhnya
ketimbang makanan yang tersaji. Hingga setelah membenamkan wajahku ke
keharuman rambutnya, tanganku langsung meliar, Meremasi teteknya dari
luar t shirt warna krem yang dipakai dibalik jaketnya yang tak
terkancing.
Seperti tetek Bu Mumun, susu Bu Marmo juga sudah agak kendur. Tapi
dari segi ukuran, nampaknya tak jauh beda. Besar dan empuk, entah bentuk
putingnya. Sambil kuciumi tengkuk dan lehernya, tanganku merayap ke
balik t shirt yang dipakainya. Kembali aku meremas teteknya dan kali ini
langsung dari BH yang membungkusnya. Kelembutan buah dada Bu Marmo baru
benar-benar dapat kurasakan setelah aku berhasil merogoh dan
mengelurkannya dari BH.
Bu Marmo mulai menggelinjang dan mendesah saat aku meremas-remas
teteknya perlahan dan memainkan puting-putingnya. Ia menyandarkan tubuh
ke dadaku seakan memasrahkan tubuhnya padaku. “Sshhh….aaahhh…..
sshhh….aahhh… ibu sudah lama tidak begini Nak Anto,” ujarnya mendesah.
“Lho kan ada Pak Marmo,” kataku menyelidik.
“Dia jarang mau diajak dan sudah sulit bangun itunya,”
Meski sudah mendengar langsung dari Pak Marmo aku agak kaget karena
ternyata cerita atasanku itu benar adanya. Pantesan Bu Marmo merasa
tidak ada masalah meninggalkan suaminya dipijat wanita lain berdua di
rumahnya.
Ternyata wanita yang ada dalam pelukanku ini sudah lama tidak dijamah
suaminya. Membayangkan itu aku makin terangsang. Jas hitam yang dipakai
Bu Marmo kulepas dari tubuhnya. Namun saat hendak kulepas kaos krem
yang dikenakan dibalik jaket, wanita istri atasanku itu mencegah. “Takut
nanti ada yang ke sini Nak Anto,” ujarnya.
Meski aku telah membujuknya bahwa tak mungkin ada pelayan yang datang
kecuali tombol bel yang ada ditekan untuk memanggil, Bu Marmo tetap
menolak. Menurutnya ia tetap merasa was-was karena berada di ruang
terbuka. “Kalau celana dalam ibu saja yang dibuka nggak apa-apa,”
katanya akhirnya.
Agak kecewa sebenarnya karena aku ingin melihat tubuh istri atasanku
dalam keadaa bugil. Tetapi membuka celana berarti memberiku kesempatan
melihat memeknya. Bagian yang paling ingin kulihat pada tubuh Bu Marmo
karena saat di kamar pas supermarket, bagian membusung di
selangkangannya itu masih tertutup celana dalam.
Tanpa membuang kesempatan, segera kubaringkan Bu Marmo di lantai
saung yang beralaskan tikar itu. Kubuka kancing celana hitam yang
dipakai dan kutarik risletingnya. Kini kembali kulihat gundukan memeknya
yang masih dibungkus celana dalam krem. Aku menyempatkan membelai memek
istri atasanku itu dari luar celana dalamnya sebelum menarik dan
memelorotkan celana panjangnya. Benar-benar tebal, besar dan masih cukup
liat.
Aku makin terpana setelah memelorotkan celana dalamnya dan membuat
tubuh bagian bawah Bu Marmo benar-benar bugil. Memeknya benar-benar
nyempluk, membusung dan tanpa rambut. Kalau dibiarkan tumbuh mungkin
jembut di memek Bu Mumun masih kalah lebat. Namun Bu Marmo rupanya lebih
senang mencukurnya, hingga nampak gundul dan polos.
Memek tembemnya itu terasa hangat saat aku menyentuh dan membelainya.
Tetapi sekaligus terasa kasar karena bulu-bulu jembutnya mulai tumbuh.
Aku yang menjadi makin terangsang dan tak sabar untuk melihat itilnya,
segera membuka posisi kaki Bu Marmo yang masih merapat.
Ah lubang memeknya ternyata sudah lebar, menganga diantara bibir
kemaluannya yang tebal dan berkerut-kerut. Bibir kemaluannya coklat
kehitaman. Tetapi itilnya yang mencuat menonjol di bagian atas celah
memeknya nampak kemerahan. Aku tak lagi bisa menahan diri. Langsung
kukecup memeknya dengan mulutku. Memek Bu Marmo ternyata sangat terawat
dan tidak berbau. Ia mendesah dan makin melebarkan kangkangan pahanya
saat lidahku mulai menyapu seputar bibir luar vaginanya.
Lidahku terus menjelajah, melata dan merayap seolah hendak melumasi
seluruh permukaan tepian labia mayoranya. Bahkan dengan gemas sesekali
bibir vaginanya yang telah menggelambir kucerucupi. Membuat Bu Marmo
mendesis mengangkat pantat menahan nikmat. “Aakkhhh… sshhh… shhh…
aahhh…. ookkhhh…. ssshhhh,” rintih wanita itu mengikuti setiap sapuan
lidah dan cerucupan mulutku di memeknya.
Sambil mendesis dan mendesah, kulihat Bu Marmo meremasi sendiri
susunya dari luar kaos warna krem yang dipakainya. Rupanya ia sangat
menikmati sentuhan awal oral seks yang kuberikan. Aku yang memang
berniat memberi kesan mendalam pada persetubuhan pertama dengan istri
atasanku itu, segera meningkatkan serangan. Dengan dua tanganku bibir
memeknya kusibak hingga terlihat lubang bagian dalam kemaluannya. Lubang
yang sudah cukup lebar dan terlihat basah.
Ke celah lubang nikmat itulah lidahku kujulurkan. Terasa asin saat
ujung lidahku mulai memasuki lorong kenikmatannya dan menyentuh cairan
yang keluar membasah. Aku tak peduli. Ujung lidahku terus terulur masuk
menjelajah ke kedalaman yang bisa dijangkau. Bahkan di kedalaman yang
makin pekat oleh cairan memeknya, lidahku meliar. Melata dan
menyodok-nyodok. Akibatnya Bu Marmo tak hanya merintih dan mendesah tapi
mulai mengerang.
“Aahhkkkhhh…. aaahhh…. oookkkhhhh… enak banget Nak Anto. Oookkh.. terus.. Nak, aaakkkhhhhh,” erangnya kian menjadi.
Bahkan ketika lidahku menjilat itilnya, tubuh istri atasanku itu
mengejang. Ia mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya. Seolah menjemput
lidahku agar lebih dalam menggesek dan mendesak ke kelentitnya.
Kesempatan itu kugunakan untuk menempatkan kedua tanganku untuk
menangkup dan menyangga pantatnya. Dan sambil terus menjilati itilnya
kubenamkan wajahku di permukaan memeknya sambil menekan dan
meremas-remas pantatnya.
Kenikmatan tak tertahan yang dirasakan Bu Marmo akibat
jilatan-jilatan di kelentitnya membuat gairah wanita itu makin memuncak.
Kakinya mengelonjot dan menyepak-nyepak sambil erangannya makin
menjadi. Bahkan kepalaku dijambaknya. “Ahh.. ahhh.. ooohh
….aaaauuuhhhhh…. enak.. sshhh…. sshhh…. aahhh enak banget. Ibu nggak
tahan Nak Anto, aaahhh…. aahhhh,” sesekali tangannya berusaha menjauhkan
kepalaku dari memeknya.
Tetapi aku tak peduli. Jilatan lidahku di itilnya bukannya kuhentikan
tetapi makin kutingkatkan. Bahkan dengan gemas, bagian paling peka di
kemaluannya itu kucerucupi dan kuhisap-hisap. Akibatnya ia tak mampu
bertahan lebih lama. Pertahanannya jebol. Kedua pahanya yang kekar
menjepit kencang kepalaku dan menekan hebat hingga wajahku benar-benar
membenam di memeknya.
Berbarengan dengan itu ia memekik dan mengerang kencang namun
tertahan. Cairan kental yang terasa hangat juga kurasakan menyemprot
mulutku uang masih menghisap itilnya. Saat itulah aku tahu Bu Marmo baru
saja mencapai puncak kenikmatannya. Rupanya, upayaku untuk membuatnya
orgasme tanpa mencoblos memeknya dengan kontolku berhasil.
Setelah beberapa lama, nafas Bu Marmo yang sempat memburu berangsur
pulih seiring dengan mengendurnya jepitan paha wanita itu di kepalaku.
Hanya ia tetap terbaring. Mungkin tenaganya terkuras setelah puncak
kenikmatan yang didapatnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menyeka dan
membersihkan mulutku memakai serbet makan yang tersedia bersama sejumlah
menu makanan yang belum sempat kami sentuh.
Aku baru saja menenggak habis segelas teh manis hangat yang sudah
diingin saat Bu Marmo menggeliat dan terbangun. Kulihat ia tersenyum
padaku. Senyum yang sangat manis. Mungkin sebagai ungkapan terima kasih
atas yang baru kuberikan dan sudah lama tidak diperoleh lagi dari
suaminya. “Nak Anto sudah lapar? Kalau lapar makan dulu deh,” ujarnya.
“Saya sudah kenyang kok Bu,” jawabku.
“Kenyang apa, wong baru minum teh saja kok,”
“Bukan kenyang karena makanan. Tetapi karena menjilati memek ibu yang mantep banget,” candaku sambil menatapi busungan memeknya.
“Ih dasar. Ibu bener-bener nggak tahan lho Nak Anto. Soalnya sudah lama banget nggak dapat yang seperti tadi,” ujarnya tersipu.
Rupanya ia juga baru sadar bahwa bagian bawah tubuhnya masih
telanjang. Celana dalam warna krem miliknya yang teronggok segera
diambil dan Bu Marmo berniat untuk memakainya. Namun aku langsung
mencegah. Kurebut dari tangannya dan kulempar agak jauh darinya. “Jangan
ditutup dulu dong Bu. Saya masih belum puas lihat punya ibu,” kataku
sambil mengusap memeknya.
“Nak Anto tidak pengin makan dulu?”
“Nanti saja ah. Perut saya sih belum lapar. Tapi kalau yang ini sudah
lapar sejak tadi,” ujarku sambil menurunkan risleting celanaku dan
mengeluarkan isinya dari celana dalam yang kupelorotkan.
Kontolku keras dan tegak mengacung sempurna. Urat-uratnya terlihat
menonjol melingkari sekujur batangnya yang hitam dan berukuran lumayan
besar. Bu Marmo tampak terpana melihatnya. “Punya saya hitam dan jelek
ya Bu,” kataku memancing.
“Bukan.. bukan karena itu. Tapi ukurannya.. kok gede banget,”
“Masa? Tapi ibu suka sama yang gede kan?” Kataku sambil merubah
posisi menggeserkan bagian bawah tubuhku mendekat ke istri atasanku. Aku
berharap ia tak hanya menatap senjataku tapi mau mengelusnya atau
bahkan mengulumnya. Sementara tanganku tetap merabai dan mengusap-usap
memeknya yang tebal.
Bu Marmo ternyata cepat tanggap dan mengerti apa yang kuinginkan.
Batang zakarku digenggamnya. Tetapi ia hanya mengelus dan seperti
mengamati. Mungkin ia tengah membandingkan senjata milikku dengan
kepunyaan suaminya. “Beda dengan milik bapak ya bu. Punya saya memang
sudah hitam dari sananya kok,” candaku lagi.
“Ih.. bukan begitu. Punya Nak Anto ukurannya nggilani. Kayaknya marem
banget,” ujarnya tersenyum. Wajahnya tampak dipenuhi nafsu.
Akhirnya, Bu Marmo benar-benar melakukan seperti yang kuharapkan.
Setelah mengecu-ngecup topi baja kontolku, ia mulai memasukkan ke dalam
mulutnya. Awalnya cuma sebagian yang dikulumnya. Selanjutnya, seluruh
batang zakarku seperti hendak ditelannya. Mulutnya terlihat penuh karena
berusaha memasukkan seluruh bagian tonggak daging milikku yang lumayan
besar dan panjang.
Wanita istri atasanku itu ternyata cukup pandai dalam urusan
kulum-mengulum. Setelah seluruh bagian batang kontolku masuk ke mulut,
ia menghisap sambil menarik perlahan kepalanya. Begitu ia melakukannya
berulang-ulang. Aku mendesah oleh kenikmatan yang diberikan. “Oookkhhh…
sshhh…. oookkkhhhhh…. enak banget… aakkkkhhhh…. terusss….
aaakkkkkhhhhhh,” desisku.
Sambil terus melumati batang kontolku, tangan Bu Marmo juga
menggerayang dan memainkan biji-biji pelir milikku. Kalau bukan di rumah
makan mungkin aku sudah mengerang dan melolong oleh sensasi dan
kenikmatan yang diberikan. Sebisaku aku berusaha menahan agar tidak
sampai rintihanku terdengar orang lain.
Untuk melampiaskannya, aku mulai ambil bagian dalam permainan
pemanasan yang dilakukannya. Aku harus bisa mengimbangi permainan Bu
Marmo. Kedua pahanya kembali kukangkangkan dan wajahku kembali
kubenamkan di selangkangannya. Bu Marmo sebenarnya belum sempat mencuci
memeknya setelah lendir kenikmatannya keluar saat orgasme sebelumnya.
Tetapi aku tak peduli. Memek wanita yang sudah dipanggil nenek itu
kucerucupi.
Bahkan jilatan lidahku tidak hanya menyapu bagian dalam lubang memek
dan kelentitnya. Tetapi juga melata di sepanjang alur liang nikmatnya
yang menganga namun juga ke tepian lubang duburnya. Saat aku
menjilat-jilat tepian lubang anusnya Bu Marmo menggerinjal dan memekik
tertahan. Mungkin kaget karena tak menyangka lidahku bakal menjangkau
bagian yang oleh sementara orang dianggap kotor.
Tetapi itu hanya sesaat. Setelah itu ia kembali melumati dan
menghisapi batang kontolku sambil mendesah-desah nikmat. Karenanya aku
makin fokus dan makin sering kurahkan jilatan lidahku ke lubang duburnya
sambil sesekali meremasi bongkahan pantat besarnya.
Pertahananku nyaris jebol saat mulut Bu Marmo mulai mencerucupi biji
pelir kontolku. Untung Bu Marmo mengambil insiatif menyudahi permainan
pemanasan itu. Ia memintaku segera memasukkan rudalku ke liang
sanggamanya. “Ahhh… sudah dulu ya. Sudah nggak kuat pengin merasakan
batang Nak Anto yang gede ini nih,” kata Bu Marmo seraya melepaskan
batang kontolu dari genggamannya.
“Ii.. iiya bu, saya juga sudah pengin banget merasakan memek ibu,”
Aku mengambil ancang-ancang di antara paha Bu Marmo yang mengangkang
lebar. Lubang bagian dalam kemaluannya yang menganga terlihat kemerahan .
Sepertinya lubang nikmat Bu Marmo telah menunggu untuk disogok. Memang
sudah lama tidak ditengok karena kemaluan suaminya yang mulai loyo.
Kepala penisku yang membonggol sengaja kuusap-usapkan di bibir luar
memeknya yang sudah amburadul bentuknya. Bahkan ada sebentuk daging
mirip jengger ayam yang menjulur keluar. Entah apa namanya karena aku
baru melihatnya.
Bu Marmo mendesah saat ujung penisku menyentuh bibir kemaluannya.
Meski nafsuku kian membuncah melihat memek tembemnya yang menggairahkan,
aku berusaha menahan diri. Bahkan ujung topi baja rudalku hanya
kumainkan untuk menggesek dan mendorong gelambir daging mirip jengger
ayam di memek Bu Marmo. Sedikit menekannya masuk dan menariknya kembali.
Akibatnya Bu Marmo merintih dan memintaku untuk segera menuntaskan
permainan. “Ayo Nak Anto… jangan siksa ibu. Masukkan kontolmu.. ssshhh…
aahh… sshh ahhh ayo nak,”
Blleeessseeekkk… akhirnya batang kontolku kutekan dan benar-benar
masuk ke lubang memeknya. Karena sudah lumayan longgar dan banyaknya
pelicin yang membasah di lubang memeknya, batang kontolku tidak
mengalami hambatan berarti saat memasukinya. Bagian dalam lubang Memek
Bu Marmo terasa hangat dan sangat becek.
Setelah batang zakarku benar-benar membenam di kehangatan liang
sanggamanya, kurebahkan tubuhku untuk menindih tubuh montoknya. Bibir
istri atasanku yang merekah perlahan kukecup dan akhirnya kulumat. Saat
itulah sambil terus mengulum dan melumati bibirnya, mulai kuayun
pinggulku dan menjadikan batang kontolku keluar masuk di lubang
memeknya.
Bu Marmo juga mulai mengimbanginya. Tak kalah hot, lidahku yang
menyapu rongga bagian dalam mulutnya sesekali dihisap-hisapnya. Bahkan
ia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku baru mulai merasakan
kelebihan yang dimiliki Bu Marmo. Bukan cuma tubuhnya yang matang akibat
usia senja namun masih menggairahkan. Tetapi kerja otot bagian dalam
memeknya juga lebih terasa. Berdenyut dan seperti memerah batang
kontolku.
Kini giliran aku yang dibuatnya mengerang. Nampaknya istri atasanku
telah benar-benar matang dalam hal urusan ranjang. Untuk
melampiaskannya, kuremas gemas teteknya yang besar dari luar kaos yang
dipakainya. Bahkan karena kurang puas, kaosnya kusingkap dan sepasang
payudaranya kurogoh dan kutarik keluar dari kutangnya. Pentil-pentil
teteknya yang berwarna coklat kehitaman kupelintir dan kumain-mainkan
dengan jariku.
Blep… blep…. blep… begitu suara yang kudengar setiap kali ayunan
pinggulku menyentuh selangkangan Bu Marmo. Di samping bunyi kecipak
karena lendir yang kian membanjir di liang sanggamanya. “Sshhh… ssshh
…aahh …. aahh terus nak.. aahh enak banget. Kontolmu enak bangat Nak
Anto,”
“Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,”
Bu Marmo tersenyum. Wajahnya kian memerah. Kembali kulumat bibirnya
sambil tak lepas tanganku menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan
tangan Bu Marmo mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan
kursakan tempo goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai
mendekat ke puncak gairahnya.
Aku yang juga mulai kehilangan daya tahan segera mengimbanginya.
Berkali kontolku kutikamkan ke lubang memeknya dengan tekanan yang lebih
kencang dan lebih bertenaga. Bu Marmo memekik dan mengerang. “Aaauuww…
aaakhhh ,,,, aakkkhhh enak banget… aaakhhh…. terus… sayang …. aaaakhhh …
ya…. aaakhhh memek ibu enak bangat disogok begini… aaaaakkkkhhhh ….
sshhhh… sshhh… aaahhhhh,” rintihan dan suara Bu marmo makin tak
terkontrol.
Aku jadi makin terpacu. Bukan cuma mulutnya yang kucium. Tapi ujung
hidungnya yang bangir dan dahinya juga kucerucupi dengan mulutku. Bahkan
lidahku menjelajah ke lehernya dan terus melata. Lubang telinga Bu
Marmo juga tak luput dari jilatan lidahku setelah menyibak rambutnya.
Tubuh Bu Marmo kian mengejang. Kedua kakinya yang kekar dan panjang
membelit pinggangku dan menekannya. Kedua tangannya memeluk erat
tubuhku. Rupanya ia hampir sampai di garis batas kenikmatannya. Aku yang
juga sudah mendekati puncak gairah makin meningkatkan tikaman- tikaman
bertenaga pada lubang sanggamanya.
Akhirnya gairah Bu Marmo benar-benar tertuntaskan. Cairan yang
menyembur di lubang memeknya dan cengkereman kuku-kukunya di punggungku
menjadi pertanda kalau ia sudah mendapatkan orgasmenya. Tetapi aku terus
mengayun. Kocokan batang kontolku di lubang memeknya yang makin banjir
tak kuhentikan. Bahkan makin kutingkatkan karena kenikmatan yang kian
tak tertahan.
Puncaknya, Bu Marmo kembali mencengkeram pantatku. Kali ini dengan
sekuat tenaga ia berusaha menahan agar pinggulku tidak dapat bergerak
dan kontolku tetap membenam di lubang memeknya. Saat itulah, otot-otot
bagian dalam vaginanya terasa mencengkeram bagitu hebat dan
bergelombang. Serasa memerah dengan kuatnya. Aku merintih dan melolong
panjang. Pertahanku menjadi jebol dan maniku menyemprot sangat banyak
gua kenikmatan istri atasanku. Bersama peluh membanjir, tubuhku ambruk
di atas tubuh montok Bu Marmo dengan nafas memburu.
“Nanti ikan bakar dan kepiting saos tomatnya minta dibungkus saja Nak
Anto. Sayang kalau tidak dimakan. Tapi jangan lupa piring-piringnya
dibuat kotor dengan masi dan lauk yang lain, hingga sepertinya kita
sudah benar-benar makan,” kata Bu Marmo setelah merapikan kembali baju
yang dipakainya.
Kami meninggalkan rumah makan saung di pinggir pantai setelah
membayar di kasir dan meninggalkan lembaran dua puluh ribu rupiah
sebagai tip kepada petugas yang membereskan serta membungkuskan makanan
yang memang tidak kami makan. Dari spion, wajah Bu Marmo kulihat sangat
cerah. Pasti karena kenikmatan yang baru direguknya serta nafsunya yang
lama tertahan telah tersalurkan.
“Apa lihat-lihat. Wanita sudah tua kok masih diajak ngentot,” kata Bu
Marmo yang memergoki ulah mencuri-curi pandang ke arahnya lewat spion.
Tetapi perkataannya itu bukan karena marah.
“Usia boleh saja sudah kepala lima. Tetapi wajah ibu masih cantik dan
tubuh ibu masih sangat merangsang. Mau deh tiap malam dikelonin ibu,”
ujarku menggoda.
“Bener tuh,”
“Sungguh Bu. Saya bisa ketagihan deh oleh empotan memek ibu yang dahsyat tadi,’
“Ibu juga suka sama batang Nak Anto. Besar dan panjang. Kalau mau
kapan-kapan kita bisa mengulang. Kalau ada kesempatan nanti saya SMS,”
ujar Bu Marmo.
Aku sangat senang karena sudah mendapat peluang untuk terus bisa
menyetubuhinya. Tangan Bu Marmo kuraih dan kugenggam. Bahkan sempat
meremas susunya sambil mengendalikan kemudi. Hanya Bu Marmo mengingatkan
bahwa ulahku bisa menyebabkan kecelakaan hingga aku kembali
berkosentrasi pada setir mobil yang kukendarai. Ah, memek wanita tua
ternyata masih sangat nikmat.
Sampai di rumah Pak Marmo sudah tidur di kamarnya. Sedang Bu Mumun,
terlihat berbincang dengan Yu Sarti, pembantu di rumah itu. Setelah
berbincang sebentar, aku dan Bu Mumun pamit pulang. Hanya sebelumnya Bu
Marmo memberikan bungkusan lauk yang belum sempat kami makan sewaktu di
rumah makan. “Buat oleh-olah anak di rumah Bu,” kata Bu Marmo.
Di jalan, saat membonceng sepeda motor dan kutanya tentang ulah Pak
Marmo, Bu Mumun cerita bahwa atasanku itu benar-benar genit. Selama
dipijat, kata Bu Mumun, ia terus merayu dan berusaha menggerayangi.
“Tapi tidak saya ladeni lho Pak Anto,” ujar Bu Mumun meyakinkanku.
“Pasti Pak Marmo maksa untuk bisa megang memek ibu kan? Soalnya dia kemarin bilang pengin banget lihat punya ibu,”
“Iya sih tapi hanya pegang. Dan karena terus maksa akhirnya ibu kocok,” ungkap Bu Mumun jujur.
Aku tertawa dalam hati. Sementara suaminya hanya bisa meraba memek
wanita lain dan dipuaskan dengan dikocok, istrinya malah sampai orgasme
dua kali disogok penis laki-laki lain. Bahkan istrinya berjanji untuk
mengontak agar bisa mengulang kenikmatan yang telah kami lakukan.
Sampai di rumah anak-anak Bu Mumun sudah tidur. Dan mungkin karena
terangsang gara-gara memeknya digerayangi Pak Marmo, Bu Mumun memaksaku
untuk singgah di rumahnya. Untuk menolak rasanya kurang enak. Karena
biasanya aku yang sering memintanya untuk melayaniku.
Rupanya nafsu Bu Mumun sudah benar-benar tinggi. Di kamarnya, saat ia
mulai mengulum batang kontolku dan tanganku menggerayang ke
selangkangannya, memeknya sudah basah. Bahkan saat tangaku mulai
mencolok-colok lubang nikmatnya, Bu Mumun kelabakan. Memintaku untuk
segera menuntaskan hasratnya.
Tetapi aku berusaha bertahan. “Punya saya belum terlalu keras Bu.
Nanti kurang enak. Kalau ibu menjilatnya di sini, pesti cepat kerasnya,”
kataku sambil mengangkat dan memperlihatkan lubang anusku,” kataku.
Sebenarnya, kontolku kurang keras karena sebelumnya telah dipakai
melayani Bu Marmo di rumah makan. Namun keinginan untuk dijilati di
bagian anus, mendapat tanggapan serius Bu Mumun. Ia langsung berjongkok
di tepi ranjang dan berada selangkanganku. Dan tanpa ragu atau merasa
jijik, langsung menjulurkan lidahnya untuk menyapu biji pelirku dan
diteruskan dengan menjilat-jilat lubang duburku. Rasanya geli-geli
nikmat dan membuat tubuhku merinding.
Akibatnya aku dibuat kelojotan. Dibuai kenikmatan yang diberikan Bu
Mumun. Terlebih ketika ia mulai mencucuk-cucukkan lidahnya ke lubang
duburku. “Aaakkhhhhh… aakkhh.. enak banget …. oookkh enak banget. Saya
suka suka banget ngewe sama ibu. Oookkkh … nikmat,”
Dirangsang sebegitu rupa kontolku makin mengeras. Tetapi Bu Mumun
terus saja menjilati dan mencerucupi anusku. Ia melakukannya sambil
meremasi dan mengocok-ngocok kontolku yang makin terpacak. Takut keburu
muncar sebelum dipakai menyogok lubang memeknya, aku meminta Bu Mumun
menghentikan aksinya.
Tubuh montoknya langsung kutarik dan kutelentangkan di ranjang. Dalam
posisi mengangkang, aku langsung menungganginya. Bleesss… kontolku
langsung membelesak di lubang nikmatnya yang basah. Ia agak tersentak.
Mungkin karena aku menggenjotnya secara tiba-tiba. Namun ia tidak
mengeluh dan malah mendesah
Selasa, 11 September 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar