Jumat, 31 Januari 2020

LIAR

‘Pagi sayang, jalan yuk’ tiba-tiba masuk sebuah chat dari pacar yang membangunkanku.
Sudah 2 bulan kami berpacaran. Dia adalah seorang mahasiswa bernama Andi di universitas ternama di kotaku ini. Selayaknya mahasiswa umumnya yang merantau dan rajin mengikuti kuliah, dia merupakan pacar ‘biasa’, dengan sikap peduli dan loyalnya kepadaku.
Memang kami tidak sering bertemu. Setidaknya 1 kali seminggu kami jalan bersama. Seperti chat barusan yang dia kirim padaku.
‘Iya kak. Mau jalan kemana?’ balasku menanggapi ajakan Andi.
‘Nonton yuk, di XXI.’ balasnya cepat dan simpel.
Tidak banyak kejadian unik selama kami berpacaran. Seperti pasangan-pasangan pada umumnya, kami kami hanya sering berjalan-jalan, berbelanja, menonton, dll. Memang cukup membosankan, tetapi kusetujui saja ajakan Andi tadi.
Sambil berbalas chat dan mencoba beranjak dari kasur, “Dari siapa say?” terbangun sorang yang ada di sebelahku sambil menarik tanganku untuk kembali terbaring dalam dekapannya.
“Andi, pak.” jawabku sambil tersenyum padanya.
Ya, yang barusan bertanya adalah orang yang lebih tua, bahkan lebih tua daripada ayahku.
‘Cuphhh’ “Yahh, gak bisa berduan seharian sama saya nih, padahal bapak-ibu lagi keluar kota.” Kecupnya pada bibirku secara tiba-tiba sambil mengeluh.
“Emang semalem masih kurang, pak?” balasku.
“Jelas kurang lah.. Nona seksi gini, pengennya bapak entot terus. Hehe.” ucapnya sambil terkekeh.
“Asshhh... Ohhhss... pak...” desahku merasakan tangan hitamnya meremas salah satu payudaraku yang berada di balik selimut kami. Birahikupun ikut naik atas rangsangan yang diberikan pak Yono.
Tiba tiba pak Yono membuka selimut kami dan menindih badanku. “Ck ck ck... perasaan tambah montok aja toketnya, non...” ucapnya terpesona.
“Masa sih pak? Salahin tangan bapak tuh.” candaku.
“Terima kasih, wahai tangan nakal.” katanya kepada tangannya sendiri.
“Tapi tetek aku masih bagus kan, pak?” tanyaku sambil meremas kedua payudaraku untuk menggodanya.
“Bagus kok non, masih muda tapi teteknya montok. Hehe.” pujinya
“Kalo gitu tiup lagi biar tambah montok dong, pak.”
‘Cuphhh... cuphhh... ashhhss... ahhss... ohhh...’ suara desahku bercampur seiring cupangannya pada salah satu payudara kananku sambil tangannya meremas yang kanan. Bergantian dia mempermainkan kedua payudaraku.
“Cupang yang banyak, pak... ahhhss... ohhh...”
Pak Yono menghentikan hisapannya, “Kalo ketahuan pacarnya gimana, non?”
“Biarin... shhhh...” balasku memaksa kepalanya mendekat lagi ke payudaraku, supaya dia terus menjilat, menghisap, dan meremasnya.
Tak lama kamipun berciuman dengan panasnya. ‘Cuphhh... cupphhhh... shhhh...’ Cukup lama kami berciuman sambil tangan pak Yono terus bekerja, berkeliaran di tubuhku, dari atas sampai bawah.
Hingga tangannya mencapai pangkal pahaku, “Asshhhh... pak... sshhhh...” desahku saat jarinya mencolek-colek vaginaku.
“Basah banget, non. Udah napsu ya. Hehe.” godanya lagi.
“Colek terus, pak... Masukin... ssshhh...” desahku saat merasakan satu jarinya menerobos liang vaginaku. Dipermainkannya bagian dalam vaginaku dengan jarinya.
“Asshhhh... Terus, pak... Sasa mau keluar... ssshhh...” dengan patuh, tangan pak Yono semakin cepat memainkan jarinya di dalam vaginaku.
‘Ooooooossshhh... aaaaaaahhhh... Cccrrrrrr.... cccccrrrrr... crrrr...’ menyemprotlah cairan vaginaku hingga kasur kami basah untuk kesekian kalinya sejak semalam.
“Pagi-pagi udah ngecrit banyak amat, non. Haha.” kuhiraukan tawa pak Yono.
Sambil mengatur nafas, kugapai penis pak Yono dengan tangan kiriku. Kukocok perlahan penis besarnya itu.
Namun, tidak lama, dengan gontai akupun bangkit meninggalkan pak Yono.
“Non...” panggilnya dengan nada bingung.
“Mandi yuk pak.” ajakku sambil tersenyum padanya.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, pak Yono langsung berlali menggendongku ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku ini.
‘Serrrr... Cuphhh... cuphhh... Asshhhh...’ di bawah guyuran shower, lagi-lagi kami berciuman dengan mesranya. Namun kali itu tidak lama, karena perlahan kuturunkan kepalaku menjilati leher, dada bidang, perut, hingga sampailah pada penis pak Yono.
Sambil memasang wajah binalku pada pak Yono dari bawah, mula-mula kukocok penisnya. Mulai dari perlahan sampai dia mengerang keenakan.
“Ahhh... Terus, non... Emut dong, non...” pintanya sambil mendesah.
Tidak langsung kuturuti permintaanya. Namun kumulai dengan mengecup beberapa bagian dari penisnya, dari bulu lebatnya, testis, batang, hingga helmnya.
“Oohhh... non...” desahnya bertambah ketika perlahan kumasukkan penis besarnya ke dalam mulutku. Memang terlalu besar hingga hanya sebagian saya yang mampu kuhisap.
Mulai kumaju-mundurkan kepalaku, memainkan penis pak Yono dalam mulut mungilku. Semakin lama semakin cepat. ‘sleb... sleb... clokk... cpokkk...’ kurelakan mulutku layaknya sedang disenggamai.
“Ahhhh... non... osshhh...” desah pak Yono semakin keras.
Sebenarnya aku berusaha sekuat tenaga supaya pak Yono orgasme. Tapi sungguh, meski sudah tua, kutahu stamina pak Yono tidak mudah habis. Hal ini tentu, sebuah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang penjaga, seperti pak Yono ini.
Hingga akhirnya, “Ahhh... ohhh... mmhhh... Kok masih kuat sih, pak?” bukanya orgasme, justru aku yang tidak kuat berlama-lama menghisap penis pak Yono.
“Haha, kasihan non Sasa.” ucapnya sambil mengangkat badanku.
‘Cupphhh... cuphhh...’ lagi-lagi kami berciuman. Namun perlahan kurasakan tangan mengangkat paha kiriku. Pak Yono mempermainkan birahiku dengan menggesekkan penisnya pada lubang vaginaku.
“Uhhhh... pak... entotin Sasa... sshhhh...” pintaku padanya.
Tidak lama, kurasakan kepala penisnya mulai membelah liang vaginaku. Meski sudah berkali-kali vaginaku diobrak-abrik oleh penisnya, namun rasanya tetap saja mendebarkan. Terlebih, penis pak Yono lebih besar daripada penis lain yang pernah kurasakan.
‘sleb... sleb...’ perlahan tapi pasti, kepala penis pak Yono mentok hingga rahimku.
“Ahh... masih sempit aja memek non Sasa... Ssshhhh...” desah pak Yono sambil meresapi penisnya yang terjepit di dalam vaginaku.
“Kontol bapak paling besar sih... Aaahhhh... ooossshhhh...” jawabku sambil merasakan genjotan penis pak Yono.
“Emang udah berapa kontol yang udah pernah ngentotin non Sasa?” tanyanya curiga sambil terus menggoyang penisnya keluar-masuk.
“Rahasia dong, pak... Ssshhh... aahhh...” jawabku menggodanya.
Seolah marah, pak Yono mempercepat genjotannya pada vaginaku. “Aaahhhh... ooohhhsss... Terus pak... lebih kenceng... ooohhhhh...” Hinggga tak lama, lagi-lagi aku orgasme. ‘Crrrr... currrr... crrrr...’ cairan cintaku membasahi penisnya.
Mengerti keadaanku, pak Yono menghentikan genjotannya sejenak namun penisnya tetap menancap dalam vaginaku.
“Asshhh... ssshhh... Ayo genjot lagi, pak... Hamilin Sasa... Ssshhh...” desahku mengatur napas sambil menggodanya.
Meskipun terlihat kekar dan bersatamina banyak, tetap saja pak Yono adalah seorang yang memiliki rasa takut. Termasuk pada keluargaku, atau majikannya. Karena itulah, aku tahu mengapa dia tidak pernah sekalipun menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku.
Sedikit bingung, dilepasnya paha kiriku dari tangannya. Lalu kudorongnya hingga terduduk di closet yang ada dibelakangnya. Sambil kugoda dia, kugesekkan kepala penisnya pada vaginaku di atasnya.
“Non...” ucapnya, yang kutahu seolah menolak untuk menghamiliku.
Namun kepalang tanggung, birahikupun tak kunjung tuntas. Maka kumasukkanlah penis besar pak Yono itu ke dalam vaginaku.
“Asshhhh... Nikmatin aja ya, pak... Ssshhhh... oosshh...” Kali ini kugenjot penis pak Yono dalam vaginaku.
Dengan binalnya kogoyang badanku naik-turun di atas paha pak Yono. Tak terasa, badan kami mulai berkeringat, karena closet yang kami duduki tidak terguyur oleh shower.
Hingga hampir 10 menit aku bersusah payah berolahraga di atas paha pak Yono, tiba-tiba, “Udah non... lepas... bapak mau keluar... Ssshhh... Asshhh...” Dia mendesah sambil berusaha mengangkat badanku supaya kelamin kami terlepas. Namun di sisi lain, aku juga berusaha keras memeluk dan menekan badannya supaya kami tidak terlepas.
‘Cupphhh... cuupphhh...’ kubungkam mulut pak Yono dengan cumbuan mesra.
Sampai tak lama kemudian kurasakan penisnya bergetar di dalam vaginaku. Tak lama kemudian, sambil terus kugoyang badanku, kususul spermanya dengan cairan cintaku.
“Aaasshhhh... ooosshhh... ssshhhh... hangat pak... Shhh...” desahku puas, karena setidaknya berhasil mengalahkan penis pak Yono.
“Non Sasa yakin mau punya anak sama saya?” tanya pak Yono di antara desahan kami, masih dengan sedikit nada ketakutan.
“Emang bapak gak mau?” tanyaku manja.
“Bukan gitu, non. Tapi kan...”
“Kalo gak mau yaudah. Keluar sana pak!” Sergahku dengan paksa melepas pelukan dan tautan kelamin kami.
“Non...” panggilnya saat aku berpaling menuju shower.
“Keluar!” sekali lagi kubentak pak Yono.
Lalu dengan katakutan, pak Yono keluar dari kamar mandiku.
Setelahnya, akupun melanjutkan acara mandiku, hingga berdandan mempersiapkan kegiatanku menonton film bersama Andi yang sebentar lagi akan menjemputku.
- - - - -
‘Ting tong...’ terdengar bunyi bel rumahku.
Akupun segera menuju pagar rumah, membukakannya untuk Andi. Saat itu dia tercengang dengan penampilanku. “Tunggu sebentar ya, kak.” perintahku padanya untuk menunggu di teras rumah.
Aupun kembali masuk ke dalam rumah, menuju kamar belakang, tempat pak Yono berada.
Di depan pintunya yang terbuka, kusapa pak Yono yang sedang menonton televisi tabung di depannya. Saat itu aku hanya mengenakan kaos longgar denga dada rendah, dan rok pendek, tanpa bra. Seperti tatapan Andi tadi, pak Yono terpaku dengan penampilanku saat ini.
“Gimana pak? Sasa cantik gak?” tanyaku pada pak Yono.
“C... cantik, non...” jawabnya
“Kayaknya lebih seksi kalo gak pakai ini ya, pak?” tanyaku sambil sekejap mempelorotkan celana dalamku dan melemparkan hingga mendarat di muka pak Yono.
“Hah, non...” pak Yono terkaget.
Namun dengan segera, kutinggalkan pak Yono dengan kekagetannya. “Tolong dicuciin sekalian bersihin kamar Sasa ya, pak.” ucapku meninggalkannya menuju teras rumah hingga meninggalkan rumah bersama Andi, pacarku yang tidak tahu apapun.

Pagi itupun aku dan Andi pergi menonton di bioskop.
“Hari ini kamu cantik banget, yang.” puji Andi saat kami berada di mobilnya.
“Jalan-jalan sama pacar harus cantik dong.” jawabku sambil tersenyum padanya.
“Bisa aja kamu yang.” katanya sambil mengecup tanganku.
Meskipun dengan perangai Andi yang lembut itu, kutahu dia sesekali melirik pahaku yang tersibak di balik rok. Mungkin bisa kalian bilang, bahwa aneh sekali perempuan semuda aku menyukai hal eksibisionis seperti ini. Namun sejak merasakan nikmatnya bercinta, nafsuku serasa tidak terbendung. Seolah aku suka, ketika banyak pria yang menatapku dengan nanar. Bahkan atak nafsuku sendiri, vaginaku telah merasakan beberapa penis, salah satunya bercinta dengan penjaga di rumahku sendiri, yakni pak Yono.
Selama berjalan-jalan dengan Andi, tentu banyak mata yang memandangku, terutama para pria. Sekali tatapan seorang tua yang memandangku nanar, bertemu pandang dengan pacarku, Andi.
“Yang, kok bapak itu lihatin kamu segitunya sih? Kamu kenal?” tanya Andi di telingaku.
“Kayaknya engga deh.” jawabku. “Atau pakaianku ada yang salah?” tanyaku balik.
“E.. em, gak ada yang salah kok yang.” jawabnya dengan memandangku sekilas.
Kupikir Andi tidak berani menyinggung masalah pakaianku ini. Entah mungkin dia senang dengan penampilanku, atau merasa bangga bahwa pacarnya ini seksi hingga dapat dipamerkan pada orang lain, atau bahkan keduanya. Akupun tidak peduli dengan hal tersebut. Yang ada hanya bahwa dengan memiliki pacar, aku aman bereksibisionis ria tanpa sepengetahuannya.
- - - - -
Hingga selesai menontonpun, tidak terjadi hal menarik yang bisa kuceritakan. Lalu kami makan siang di restoran sekitar mall tempat kami menonton.
“Jangan lupa, ntar sore ke kosan gue! Ngerjain tugas kelompok!” tiba-tiba ada chat masuk di ponselku.
Andi yang mengetahuinya lalu bertanya, “Siapa, yang?”
“Ini si Ratna ngingetin. Habis ini anterin aku ke kosannya ya, yang. Ada tugas kelompok buat besok.” jawabku.
“Oke sayang. Nanti mau dijemput gak?”
“Gausah deh, yang. Aku nebeng Vivi aja.” tolakku pada tawaran Andi. Diapun menyetujuinya.
- - - - -
Tak lama, sore itupun kencan kami berakhir. Saat itu aku sudah diantar Andi ke depan kosan Ratna. Kamipun berpisah di sana.
Akupun segera menuju kamar Ratna ‘ceklek.’ “Hei, guys. Maaf gue telat.” Ucapku sambil membuka kamar Ratna. Kulihat di dalam kamarnya ada teman sekelasku, Jenny, Vivi, Andre, Toni, serta Ratna.
“Ngapain aja nih, yang habis kencan?” goda Jenny padaku.
“Nonton doang di XXI.” jawabku bergabung dengan mereka berempat.
Kulihat para pria di ruangan ini terpaku pada penampilanku. Beruntung Andre, dipelototin oleh pacarnya sendiri, yakni Vivi. Rasanya ingin ketawa aku melihatnya. Otomatis tingga Toni saja yang leluasa memandangiku. Namun kutahu dia cukup canggung, jadi akupun biasa saja.
Kamipun mulai mengerjakan tugas supaya kami bisa presentasi besok. Beruntung saat itu Jenny telah membuat draf yang hanya perlu kami atur saja. Sehingga tugaspun cepat selesai.
“Sipdeh, tinggal dirapihin aja.” kata Jenny memastikan.
“Viv, elo sama Andre yang finishing yak! Kita berempat kan udah nyelesein banyak.” perintah Ratna.
“Siap bosku.” jawabnya sambil bercanda.
“Diselesein yak, jangan berduaan aja lo berdua!” tambah Jenny.
“Iya... Ntar kita selesein sambil pangkuan kan ya, say. Cuph...” jawab Andre sekenanya, sambil mencumbu Vivi.
“Bangke kalian! Hush, cari amar sana!” usir Jenny pada pasangan tersebut.
“Iya-iya. Pulang yuk, yang.” ajak Vivi pada Andre.
Segera aku mencegah mereka karena ingin sekalian menumpang untuk pulang. “Eh, Viv, Ndre, gue nebeng dong!”
“Oke, yuk Sa. Kita boncengan bertiga.” jawab Andre bercanda, hingga kutahu mereka naik motor.
“Yah, tumbenan kalian naik motor? Terus gue sama siapa dong pulangnya? Jen?” tanyaku sambil menatap memohon bantuan Jenny.
“Minta jemput kak Andi sana! Gue udah pesen ojek barusan.” jawab Jenny.
“Andi tadi udah gue suruh kagak usah jemput, Jen. Seneng amat lu dempetan sama kang ojek!” ejekku pada Jenny yang selalu menggunakan jasa ojek online.
“Ya kan gue kemana-mana deket naik ojek.” jawabnya.
“Sama Toni tuh. Diem aja dari tadi lihatin elo, Sa.” saran Sasa.
Memang sejak tadi, Toni tidak banyak bicara. Sesekali kami bertatapan, hingga kutahu dia sering mencuri pandang ke arah dada dan pahaku.
Sejak tadipun aku tahu, dan sengaja menggoda para laki-laki di ruangan tersebut. Beberapa kali aku sedikit menunduk memperlihatkan belah dadaku.
Beruntung karena sikap galak Vivi, sehingga Andre seperti tidak terlalu berani tergoda padaku. Sehingga hanya Toni yang selalu berusaha memandangiku jika ada kesempatan.
“Yaudah, gue nebeng boleh, Ton?” pintaku pada Toni.
“B... boleh, Sa. Yuk.” jawabnya sedikit canggung.
“Grogi amat lu, Ton. Pelan-pelan aja di mobil. Puas-puasin.” goda Andre pada Toni.
“Eh, kang ojek gue udah di depan. Gue duluan yak.” ucap Jenny sekaligus kami pergi meninggalkan kos Ratna.
“Yaudah sana. Hati-hati, guys. See you tommorow.” ucap Ratna sambil meng-kiss bye kami semua.
- - - - -
Tak lama akupun berada di mobil Toni dalam perjalanan pulang. Masih dengan sikap lugunya, kali ini dia sesekali menatap pahaku.
Sesungguhnya sejak tadi pagi, saat bersama Andipun aku sudah merasa cukup jengah dengan tatapan-tatapan para pria di sekitarku. Meskipun memang itulah yang kumau. Hehe.
Namun kali ini, kejengahaku seperti tidak tertahan lagi. Akupun mencoba memulai berbicara dengan Toni. “Lirik apa sih, Ton? Dari tadi juga. Awas nabrak lho.” ucapku sambil sedikit membetulkan posisi rokku yang sedikit naik..
“Eh, s.. sorry, Sa. Gue gak sengaja.” jawabnya.
Tiba-tiba Toni menghentikan laju mobil karena berada di lampu merah.
Akupun berniat menggodanya dengan sedikit membungkukkan badanku mendekatinya. “Kamu lihat apa, Toni?” tanyaku dengan nada lembut sambil menatapnya menggoda.
Kulihat dia terpaku pada belahan dadaku yang tepat berada di depan matanya. “T.. toket. M.. maksudnya muka kamu, Sa.” jawabnya keceplosan.
Akupun kembali duduk pada posisi semula sambil tersenyum padanya.
Tak lama kami sampai di depan rumahku. “Mampir dulu yuk, Ton.” ajakku saat kami berhenti.
“E.. engga deh, Sa.” tolaknya.
Dengan sekejap, lagi-lagi kudekatkan mukaku padanya. “Kamu gak mau lihat toket aku lagi, Ton?” bisikku padanya.
“S.. sa?” ucapnya tegang.
“Masuk yuk, Ton.” ajakku sambil memegang tangannya.
Seperti terhipnotis, Tonipun mengangguk. Kuarahkan dia untuk memarkirkan mobilnya. Hingga kuajak dia untuk masuk ke rumahku.
- - - - -
Di dalam rumah, kupersilahkan Toni duduk di ruang tamu. “Duduk dulu, Ton. Gue ambilin minum.”
“Eh.. iya, Sa.” jawabnya. Akupun menuju dapur mengambil minum untuknya.
Pada saat meyuguhnya, akupun menunduk di depannya, hingga kuyakin Toni dapat melihat putingku. “Minum dulu, Ton.” Kulihat selangkangannya menggembung.
“I.. iya, Sa.” jawabnya lalu meminum beberapa teguk air susu yang kusajikan.
Selanjutnya aku duduk mendekat di sebelahnya. “Gimana susunya, Ton? Enak?” tanyaku.
“E.. enak, Sa.” jawabnya
“Tegang amat sih, Ton? Mau coba susu yang asli?” godaku sambil menyentuh tangannya. Tonipun kaget terperanjat karena sentuhanku.
“Gitu aja kaget, Ton. Haha.” tawaku.
Pada saat itu dia berdiri di sebelahku. Akupun tidak tahan, dan langsung mengelus selangkangannya yang berada sejajar dengan mukaku. Kuremas penis Toni dari luar celananya.
“Eh... Sa...” Toni semakin kaget. Dia berusaha melepas tanganku pada penisnya. Namun kurasa usahanya tidak sepenuh hati, karena meski tanganku dipegang olehnya, telapak tanganku justru tetap leluasa meremas penisnya.
“Ngegembung banget, kontol elu, Ton.” ucapku.
Perlahan Toni melepas tanganku. Akupun mulai berusaha melepas kait dan menurunkan resleting celananya. Dengan mudah kupelorotkan celananya hingga ke lantai. Semakin kulihat bahwa penis Toni berdiri tegak di balik celana dalamnya yang menjadi sedikit tidak muat. “Waow, helmnya kelihatan, Ton.” ucapku terpana menyaksikan bahwa kepala penisnya sedikit mencuat keluar.
Sekejap Toni penutupi penisnya dengan tangan. “Ih, masih malu-malu aja lu, Ton!” ucapku.
“S.. sorry, Sa.” jawabnya.
“Yaudah, gue buka kaos gue, tapi elu harus lepas celana dalem. Oke!” perintahku.
Aku lalu berdiri membelakanginya, dan perlahan mengangkat melepas kaosku. Sebelum berbalik kututupi kedua payudaraku dengan tangan. Saat kulihat ke arahnya, “Ih, kok belum dilepas sih, Ton? Gak adil, lo. Ayo lepas celana dalem elo!” paksaku sambil berlutut di depan selangkangannya, dan memaksa tangannya untuk menyingkir.
Dengan segera, kuturunkan celana dalamnya, hingga terlihat penisnya yang ereksi penuh menghadap mukaku.
“Kontol tegang gini aja, pake malu-malu lo!” ucapku sambil mengelus batang penis Toni.
“Sshh.. Ssaaa...” erangnya masih sedikit tertahan.
Aku yang sudah sangat terbawa burahi, justru mempercepat gerakan tanganku mengocok penis Toni. Hingga kudengar desahannya semakin nyaring, dan sesekali menyebut namaku. Merasa bangga aku mendengarnya.
Tah lama, penisnya sedikit mengeluarkan cairan pre-cum. Kujilatnya cairan tersebut. Entah apa yang dirasakan Toni, “Ashh... Sa... sa... oshhh...” erangnya.
Terus kupermainkan penis Toni dengan lidah dan mulutku. Sesekali kutatap mukanya dari bawah sini dengan binalnya. “Suka gak, Ton?” tanyaku menghentikan emutanku pada pensinya.
Tiba-tiba Toni memegang kepalaku, “Enak banget.. Saa...” Lalu dipaksanya aku untuk mengemut penisnya lagi. Namun kali ini dia yang memaju-mundurkan kepalaku dengan kasarnya.
‘Emmhh... emmhhh... clookk... cloggg...’ suara mulutku tertahan penisnya.
“Ossshhh... Saa.... shhhh... aahhhh” erangnya tiba-tiba dia semprotkan spermanya ke dalam mulutku sambil menekan kepalaku.
Kurasakan tembakan spermanya hingga kerongkonganku. Meskipun atas paksaan, tapi entah mengapa aku tidak jijik pada rasa sperma. Tonipun melepas pegangannya pada kepalaku, hingga aku dapat melepas kulumanku pada penisnya. Dia menyaksikan, bagaimana aku membersihkan ceceran spermanya yang ada di ujung bibirku dengan jari, lalu menghisapnya, menelan spermanya. Aku yang mengetahuinya, lalu tersenyum padanya dan berdiri.
“M.. maaf, Sa, g.. gue kelepasan.” ucap Toni.
“Gapapa, Ton, gue suka kok. Makasih ya. Tapi elu sekarang mesti gantian puasin gue!”
“Hah.. m.. maksu...” sebelum selesai bicara, lalu kucium Toni dengan binalnya.

‘Cupphhh... aaahhsss... ssshhhh’ kusambar bibir Toni dengan ganasnya. Mungkin memang karena dia sedikit cupu, sehingga sebagai perempuan aku sedikit merasa bangga bisa mendominasi pria di depanku ini.
‘Tulilulit... tulilulit...’ tiba-tiba ponselku berbunyi.
Toni yang menyadarinya langsung sedikit menjauh melepaskan pagutan kami. “S... sa... ada telpon.” ucapnya.
Sambil berlagak kesal kujawab, “Biarin aja. Paling gak penting.” lalu kusambar lagi bibirnya, dan kamipun berciuman hingga dering telpon berhenti.
Dengan berhentinya dering telpon seperti kepercayaan Toni sedikit meningkat, dan mulai membalas ciumanku, sedikit demi sedikit. Kurasakan lidahnya mulai berani bergerilia, mencoba memasuki rongga mulutku. ‘Ssshhh... ahhhss... cuppphsss...’ kecipak ludah dan bibir kami yang saling menyatu.
‘Tulilulit... tulilulit...’ namun lagi-lagi ponselku berbunyi. Hal ini membuat Toni menghentikan ciumannya padaku. “Sorry Sa, mending lu angkat dulu deh. Takutnya penting.” ucapnya.
Dengan sedikit kesal, kusetujui perintahnya. Namun saat kuambil dan kulihat layar ponselku, kesalkupun menghilang, dan dengan cepat kuangkan telpon tersebut.
“Halo pak...” ucapku
“.....”
“Sasa baik pak.”
“.....”
“Hehe, bapak kangen Sasa yaaa?” ucapku lagi dengan sedikit nada centil.
“.....”
“Oke, sekarang Sasa bisa kok pak. Bapak tunggu aja ya, sejam lagi Sasa sampai deh. Bapak request apa?”
“.....”
“Ah bapak bisa aja. Siap deh. Tunggu Sasa ya pak. Muuuaaacchhh” ucapku sebagai penutup telpon.
Kulihat Toni menatapku bingung, “Siapa Sa?”
“Ada deh...” jawabku padanya.
“Emmm, sorry ya Ton, yang tadi gak bisa kita lanjut.” ucapku lagi padanya.
“Gapapa kok Sa, gue yang harusnya minta maaf. Sorry gue tadi khilaf, Sa.”
“Khilaf? Jadi elu gak mau lagi, Ton?”
“Eh... m... maksudnya, Sa? jawabnya kaget.
“Haha... lucu banget lu, Ton. Mupeng yaa...” ucapku sambil tertawa menanggapi kegugupannya.
“Emmm, sorry lagi Ton. Elu kagak sibuk kan? Tungguin gue ganti baju sebentar ya.”
“Eh... Oke, Sa.” jawabnya.
----------
Sesampainya di kamar, aku langsung melepas ‘seragam’ eksibku hari ini, mandi. Selanjutnya aku kembali memakai pakaian lain yang tidak kalah seksinya.
Setelah merasa penampilaku sudah cukup rapi, akupun mempersiapkan tasku untuk kegiatanku esok hari. Lalu, aku keluar kamar. Namun sebelum menuju tempat Toni berada, yakni di kamar tamu depan, aku menuju kamar pak Yono terlebih dahulu.
Tanpa permisi, kubuka kamar pak Yono. Seperti pagi tadi, dia terkaget dan tentu saja melotot melihat kehadiranku.
“Eh, non Sasa cantik ngagetin aja. Mau ambil cangcut tadi pagi, non?” ucapnya sambil mendekatiku.
“Halah, kaget aja masih sempet puji segala. Lagian kan kelihatan di layar CCTV bapak.”
“Tapi di kamar non kan gak ada CCTV bapak. Lagian emang non Sasa selalu cantik. Seksi begini pula. Mau lanjut wik wik sama temennya itu ya non?” tanyanya sambil membelai pinggang dan merapatkan tubuh kami.
“Haha, bapak pengen nonton live bokep ya?” godaku padanya.
“Ih, non Sasa nakal. Nanti rekamannya bapak tunjukin ke bapak ibu loh.” ‘cupphhh’ ucapnya sambil memagut bibirku sekali.
“Bapak tega... Nanti kalo ketahuan, kita gak bisa wik wik berdua loh.” balasku.
“Haha engga deh. Yaudah yuk bapak nyalain rekamannya non, kita threesome aja sama temennya, non Sasa. Kontol bapak pengen disepong. Hehehe.” Ajaknya dengan sedikit berbisik di telingaku pada akhir kalimat.
“Enak aja threesome. Sasa mau pergi.”
“Eh, ini udah malem lho non. Gak bagus buat non Sasa yang masih muda belia kayak begini.” ucapnya lebay.
“Gaya ah pak Yono nih. Udah Sasa tinggal dulu. Besok sore jemput ya pak.” ‘muuaacchh’ kecupku sambil berlalu dari kamar pak Yono menuju ruang tamu. Pak Yono hanya bergeleng melihat tingkahku ini.
----------
“Hai, Ton.” sapaku kepada Toni yang masih menunggu di ruang tamu.
Seperti ekspresi awal pak Yono tadi, Toni juga melotot melihat penampilanku saat ini. “Eh S... Sasa. E... elu gak salah lihat jam kan? Kok pake seragam sekolah?” ucapnya gugup.
“Gapapa Ton, gue ada les malem ini. Anterin gue yak.” jawabku genit sambil mendekap tangan kananya hingga lengannya menyentuh payudaraku sebelah kiri.
“O... okedeh. L... les di mana emang, Sa?” jawabnya gugup karena kupikir lengannya dapat merasakan puting kiriku yang menyembul tanpa bra.
“Di hotel LK.” ucapku sambil berkedip kepadanya.
“H... hah, LK?” tanyanya kaget. Kulihat dia merapa saku belakang, tempat dompetnya berada.
“Haha yuk, Ton.” ucapku sambil sedikt menariknya keluar menuju mobilnya. Dia pun ikut saja dengan perintahku dengan lugunya.
Hingga tak lama, kami berada di perjalanan menuju hotel LK. Sesekali kulihat Toni menyetir dengan sedikit gugup di sebelahku.Tentu aku menyadari bahwa dia sesekali melirik ke payudaraku yang memperlihatkan sedikit siluet putingku, serta pahaku yang mulusku yang tidak mampu tertutup seluruhnya oleh rok abu-abu milikku ini. Namun, kubiarkan saja semua lirikannya tersebut, karena aku cukup senang dengan tingkahnya tersebut. Apalagi kulihat penisnya mulai sedikt menonjol karena hal tersebut.
“Udah sampe sini aja, Ton. Elu boleh pulang dulua.” ucapku pada Toni, setibanya di depan hotel LK.
Namun, tiba-tiba dia membelokkan mobilnya menuju parkiran basement. “G... gue anterin masuk deh, Sa.” ucapnya. Akupun hanya mengangguk sambil tersenyum padanya.
‘Cuppphhh...’ saat mobil telah terparkir, dengan sekejap kulumat bibir Toni sambil tanganku meremas penis tegangnya dari luar celananya.
Dengan lihai kucium bibir Toni sambil membuka resleting celana Toni supaya penisnya dapat terbebas. Tak lama, lagi-lagi kuremas secara langsung penis Toni yang telah ereksi seperti saat di rumahku tadi.
‘Cuppphhhsss... ssshhhh...’ kulepas pagutanku pada bibirnya. “Lain kali kita ngamar berdua ya, Ton.” ucapku membuat Toni kaget untuk kesekian kalinya. “Tapi buat sekarang, gue haus.”
Dengan cepat kuturunkan kepalaku menuju penisnya. Lagi-lagi kukulum naik turus penis ereski Toni dengan ganasnya.
‘Slebbb.... sleebbbb... sleebbb...’ kecipak rongga mulutku dengan penis Toni. “Ssshhhh.... Saaa... sss... tttooo... pppp...” desah Toni sambil berusaha menganggkat kepalaku menjauh.
Namun usahanya kulawan dengan menahan mulutku supaya dapat terus mengulum penisnya.
Hingga tak lama, kurasakan otot-otot di sekeliling penis Toni mulai menegang, sebagai tanda bahwa dia akan segera ejakulasi.
Tanpa mengendurkan sedotanku, ‘crooottt... crooottt... crooottt...’ kurasakan sperma Toni memeuhi rongga mulutku.
Sambil menggembungkan pipiku, kutatap wajah Toni dengan senyuman. Kutelan semua sperma Toni yang telah berada di mulutku depan muka polosnya. “Asshhh... makasih minumannya, Ton.” ‘cuppphhh’ lagi-lagi kukecup bibir Toni, dan langsung turun ke penisnya yang mengecil.
Kujilat penis Toni yang basah supaya menjadi bersih. “Asshhh... udah, S... saaa...” ucapnya.
Akupun menyudahi kulumanku. “Yuk Ton, anterin gue ke Lobi.” ucapku sambil keluar dari mobilnya.
Kulihat dari luar mobi, Toni segera merapikan celananya, dan keluar dari mobil.
Kami pun bersama-sama menuju lobi hotel. Tidak banyak orang menginap di hotel, kupikir maklum bukan weekend. Namun, hal tersebut membuatku sisi binalku sedikit kecewa saat ini, karena tidak dapat mempersembahkan keseksian tubuhku pada orang lain selain Toni, saat ini.
Sesampainya di lobi, kami melihat orang yang kami kenal. “Eh Sa, itu kan pak Alex.” kata Toni.
“Iya Ton, samperin yuk.” ajakku.
Toni hanya diam menyetujui, dan mengikutiku.
“Wah si cantik udah dateng. Makasih Toni, udah anter Sasa ke sini.” Ucap pak Alex pada kami.
“Loh, lu les sama pak Alex?” tanya Toni padaku.
“Hehe, iya Ton. Gue les privat sama pak Alex. Jangan bilang ke siapa-siapa ya.” ‘Cuphh’ ucapku lalu mengecup pipi Toni.
Dia terpaku mendengar ucapanku.
“Wah udah tebar cium aja, bapak jadi pengen dicium juga. Yuk Sasa, kita belajar di kamar bapak.” ajak pak Alex sambil berimprovisasi.
“Iya pak.” jawabku sambil merangkul tangan kiri pak Alex, layaknya sepasang kekasih. “Bye Ton. Makasih ya. Pulangnya hati-hati.” ucapku lagi, meninggalkan Toni yang mematung bingung.
—————
“Kamu binal banget sih, Sa” kata pak Alex sambil mencibit putingku dari luar seragam SMA yang kupakai.
‘Ahhss...’ “Kita masih di lift pak.” ‘Ssshhh...’ kataku sambi mendesah.
Sebenarnya aku malah suka diperlakukan seperti ini, apalagi di tempat umum. Meskipun sebagai perempuan binal, aku tetap perlu manjaga imageku.
“Di lift aja malu-malu, padahal tadi sama Toni pede aja. Kamu pacaran sama Toni ya? Atau Toni udah tau kalo kamu sekarang lagi bapak booking? Hehe” tanya pak Alex mengintrogasi.
“Semoga aja sih dia gak tau, Pak. Tapi kalo tau juga gapapa sih pak, jadi bisa threesome kita.” ucapku.
“Wah binal kamu bercandanya.” ‘Cuphhss’ cium pak Alex di bibirku.
“Sebenernya bapak gak tega kamu dientot cowok lain. Tapi mau gimana lagi, murid tercantik di sekolah begini, malah jadi perek sih.”ucap pak Alex.
“Pereknya kan cuma buat pak Alex, cowok lain jadi TTM Sasa aja. Hihi.” jawabku.
“Lah itu bapak rugi berarti, bapak bayar kamu, yang lain kamu enakin secara gratis.”
“Ihhh, jangan ngambek gitu dong pak.” kataku sambil merajuk pak Alex. “Yaudah, kali ini bapak gratis deh.” tambahku.
“Oke, pokokknya buat bapak puas sampe pagi.” tantang pak Alex.
“Siap, tapi inget janji bapak sebelumnya ya.” tagihku padanya.
“Gampang, kalo ranking di atas 10 doang, bapak pasti bisa.” ucap pak Alex menjanjikan. ‘Cuppsshh... sshhhh... cuppsshhh...’ kamipun melanjutkan ciuman panas kami hingga lift terbuka, dan kami memasuki kamar yang sudah dibooking pak Alex.
Sesampainya di dalam kamar, “Puasin memek Sasa, pak.” bisikku pada telinga pak Alex yang membuatnya menyeringai mesum.

‘Cupphhss... aahhhh... ssshhh...’ suara desahan muncul di kamar mewah. Saat ini aku sedang bercumbu dengan seorang pria paruh baya seumuran dengan orangtuaku. Bisa dibilang saat ini aku sedang memenuhi panggilan klienku, pak Alex. Sebenarnya aku tidak berniat menjadi seorang ‘gadis bookingan’, tetapi bersenggama sepertinya telah menjadi candu bagiku. Beruntung hanya pak Alex satu-satunya orang yang kupersilahkan untuk membookingku.

‘Aaahhhss... ssshhhh...’ sambil berciuman, tangan pak Alex mulai menggerayangi tubuhku. Digenggamnya kedua payudaraku dari luar segaram SMA yang kupakai ini.

Tiba-tiba pak Alex menghentikan cumbuannya, dan memperhatikan tubuhku dengan lebih seksama. “Kenapa sih pak?” tanyaku dengan nada manja.

“Engga ada apa-apa, cuma makin lama bapak makin terpesona aja sama keseksian miridku ini lho. Hehe.” ucapnya gombal.

“Bisa aja bapak, ihhh.” ucapku. “Emmm... bapak mau lihat Sasa nari?” tawarku malu-malu.

“Kalo nari biasa, bapak gak mau deh. Kan bapak udah sering lihat tarianmu di sekolah. Hehe.” goda pak Alex.

Kudorong tubuh pak Alex hingga terduduk di kasur menghadap televisi. “Ihhh, buat pak Alex ya nari yang spesial dooong.” ucapku sambil menyalakan channel musik di televisi.

Pas sekali, saat itu kutemukan channel yang sedang mamutar salah satu musik EDM. Sambil mengikuti irama, aku mulai meliuk-liukkan tubuhku di depan pak Alex. Tentu tarianku saat ini bertujuan untuk menaikkan nafsu pak Alex, sehingga tarianku cukup berbeda dengan tarian cheerleder yang sering kulakukan di sekolah.

“Bapak rekam ya.” kata pak Alex sambil meraih ponsel di sakunya, dan mengarahkan kamera ke arahku.

“Tapi jangan di sebar ya pak.” jawabku setengah-setengah dengan bergaya malu menutupi sekitaran payudaraku, tetapi juga tidak mencegah tindakan pak Alex sepenuhnya.

“Engga lah, paling bapak sebar ke pemilik diskotik biar kamu direkrut. Hehe.” jawab pak Alex.

“Ihhh, makasih pak Alex.” ucapku menyetujui, bukannya justru menolaknya.

Sebagai pembuka tarianku, aku mengkiss-bye ke arah ponsel pak Alex. “Bapak-bapak, nikmati tarian Sasa yaa.” ucapku solah menari di depan bos-bos sebuah diskotik.

Kulanjutkan liukan tubuhku secara erotis, sambil perlahan kubuka kancing kemejaku satu persatu, sambil sesekali kuremas kedua payudaraku. Namun setelah semua kancing terbuka, aku tidak langsung menyibakkan seragam yang kukenakan ini, sehingga yang terlihat hanyalah dadaku bagian tengah hingga pusar.

Kulihat muka pak Alex mupeng dengan payudaraku yang masih kusembunyikan. Lalu dengan cepat kusibakkan seragamku ke kanan dan kiri, hingga payudaraku terpampang jelas di depan muka pak Alex dan ponselnya yang terus mengarah padaku. “Uhhhsss... lihat tetek aku, pak... aaahhh... ssshhh... remes yang keceng...” desahku sambil merangsang payudaraku sendiri.

Tak lama kupermainkan payudaraku sendiri, tangan kananku mulai turun ke bawah menuju rok pendek SMA yang kukenakan. Sambil melenggokkan pinggang dan pantatku, perlahan kutarik ke atas sehingga paha mulusku sedikit demi sedikit terpampang di hadapan pak Alex.

Kurasakan vaginaku mulai basah karena rangsanganku sendiri. Ditambah lagi dengan rasa bangga karena kulihat penis lelaki di hadapanku ini semakin mengeras di balik celananya.

Lalu aku mendekat ke arah pak Alex. Kusentuh tangan pak Alex yang sedang membawa ponselnya, dan kurahkan mendekati bagian selangkanganku. “Bapak-bapak lihat yaa, memekku udah basahhh...” ucapku sambil menarik ke atas rok yang kukenakan, hingga terlihatlah vaginaku secara langsung di depan ponsel pak Alex.

Tentu saja pak Alex terpana menyaksikan vaginaku yang bersih dengan bulu tipis di sekitarnya. “Bapak mau colokin memek aku... ssshhh...?” tanyaku menggoda pak Alex.

Pak Alex hanya mengangguk. Lalu kuraih tangan pak Alex yang lain menuju vaginaku, sedangkan tangan lainnya tetap memegang ponselnya. Hingga sekarang 2 jari pak Alex terekam sedang mencolok vaginaku.

“Ahhhsss... enak pak... ssshhhh...” desahku merasakan jari pak Alex semakin dalam.

Beberapa menit, pak Alex mengeluarkan jari basahnya dari vaginaku. Mungkin karena kurang leluasa untuk mengkobel memekku sambil berdiri, pak Alex mengarahkanku untuk duduk mengangkang di sebelahnya.

Akupun sudah pasrah saja dan menurut saja, karena nafsuku juga semakin tidak dapat kutahan lagi. Rasanya sebentar lagi aku akan orgasme.

Sambil tetap mengarahkan ponselnya ke tubuhku yang sedang mengangkang di atas kasur, lagi-lagi jari pak Alex asing mengkobel vaginaku dengan tempo yang lebih cepat daripada yang tadi.

“Ahhsss... paakkk... Sasa mau nyampeee... aaahhhhsss...” ‘crrr... crrrrr... crrrr...’ akupun squirting di hadapan ponsel pak Alex.

Hingga orgasmeku reda, pak Alex mengelap dan meletakkan ponselnya sejenak lalu mulai melepas pakaiannya. Sepertinya dia sudah tidak sabar untuk menyenggamaiku.

Namun belum selesai pak Alex melepas semua pakaiannya, diraih kembali ponsel yang masih dalam mode rekaman. Diarakan lagi ponselnya ke arahku. Sambil memberi kode, bahwa aku dimintanya untuk melepaskan celana sekaligus celana dalamnya.

“Bapak mau Sasa sepongin?” tanyaku menggoda ke arah ponsel. Lalu pak Alex hanya mengangguk.

Perlahan aku berjongkok menuju selangkangan pak Alex. Kulepas dan kupelorotkan celananya, hingga terpampang celana dalam hitam yang dia kenakan dengan kepala penis yang sedikit mencuat di atasnya.

“Ihhh, kontol nakal ngintip-ngintip.” ucapku pada penis pak Alex.

Tak menunggu lama, kupelorotkan juga celana dalam pak Alex membuat penis tegangnya langsung lurus menghadap mukaku. Penis pak Alex memang cukup besar, meskipun tetap lebih besar milik pak Yono. Yang jelas, aku tetap menyukai semua penis yang bisa memuaskan nafsuku.

Kugenggam dan kumainkan penis pak Alex dengan lembut. “Hai ontol, udah lama gak ketemu Sasa ya. Kasiaannn...” ucapku genit sambil menatap ke ponsel pak Alex yang ada di atasku.

Perlahan kukocok penis pak Alex semakin cepat. Sambil sedikit membungkuk, tangan kiri pak Alex berusaha meraih payudaraku sebelah kanan. Diremasnya payudaraku sebisanya dan memainkan putingnya.

Mengerti akan kesulitannya, akupun sedikit meninggikan badanku dan mengarahkan penis pak Alex pada payudara kiriku. Sensasi geli langsung menjalar saat ujung penis pak Alex kutempelkan dengan putingku yang juga semakin mengeras. Kutekan-tekan ujung penis pak Alex dengan gundukan payudara kiriku ini. Kulirik mata pak Alex yang keenakan di balik ponselnya. “Kalo enak jangan ditahan pak. Ini belom Sasa sepong lho.” ucapku binal pada pak Alex, yang juga terekam oleh ponselnya.

“Emmhhh... ssshhh...” desah pak Alex mulai terdengar karena saat ini penisnya sedang berada diantara keduabelah payudaraku. Kujepit dan kugoyang payudaraku untuk mengocok penis tegak pak Alex.

“Ssshhh... aasshhh... mmmhhh...” desahku menghadap ponsel pak Alex karena merasakan nikmat penisnya pada lembah kedua payudaraku.

“Aaasshhh... ssstopphh... Sssaa...” sergah pak Alex menghentikan jepitan payudaraku pada penisnya.

Tanpa bersura, kulihat pak Alex mengucapkan “Emut!” memintaku untuk segera mengoral penisnya.

“Siap-siap Sasa emut ya, pak...” ucapku binal pada penis pak Alex.

Kujilat penis pak Alex layaknya sedang menghisap permen lolipop. “Sluurpp... sluurpp...” sambil menatap binal ke arah ponsel, kuhisap kepala penis pak Alex.

Semakin lama, semakin kupercepat gerakan mulutku pada penis pak Alex. “Sluurp... sluurppp... cleppp... clokkk... puaahh...” kurasakan penis pak Alex semakin menegang dan melengeluarkan sedikit cairan precumnya.

Meskipun kulihat pak Alex merem-melek keenakan, kurasakan belum ada tanda-tanda akan mengeluarkan lahar putihnya. Namun sebagai pecandu sex, sepertinya aku malah menyukai penis-penis kuat seperti ini karena merasa semakin tertantang untuk memuskan empunya. Akupun semakin memperbanyak variasi emutanku pada penis pak Alex.

Hingga hampir 5 menit berlalu, rasanya mulutku mulai lelah menghisap penis pak Alex. “Assshhh... emmmhhh...” kurasakan otot penis pak Alex mulai menegang. Dengan paksa, ditariklah penisnya keluar dari mulutku.

Kurasakan pada genggamanku, “Crottt... crooottt... croott...” penis pak Alex bergetar dan langsung menyemprotkan lahar putihnya ke muka, leher, dan permukaan payudaraku.

“Sempot yang banyak pakhhh...” ucapku binal saat penis pak Alex terus menyemprotkan spermanya. Kuperas dan kuemut penis pak Alex hingga mengeluarkan beberapa tetes spermanya di mulutku.

Sambil terus merekam, kupasang mukaku yang menghayati gurihnya sperma pak Alex ke arah kamera ponselnya. “Bapak-bapak ada yang mau Sasa emut juga? Atau mau ngewe sama Sasa juga boleh lhoo.” ucapku binal ke arah kamera sambil memberi kode pada pak Alex sebagai penutup sesi ini.

Pak Alex pun mematikan video rekamannya dan berbaring di sebelahku dengan penis yang masih tegang. Akupun ikut berbaring sejenak dalam rangkulannya, sambil masih kusentuh penis tegangnya. ‘Cuphh...’ kukecup bibir pak Alex, “Sasa ambilin minum ya pak.” tawarku sambil berlalu menuju sudut kamar hotel untuk mengambil minum.

- - - - -

Sambil menyiapkan minum dan membiarkan pak Alex untuk istirahat sejenak, aku fokus untuk membalas beberapa chat yang masuk ke ponselku terutama kepada pacarku.

‘Sayang udah selesai ngerjain tugas?’

‘Halo honey...’

‘Kamu lagi apa sayang?’

Kulihat 3 chat Andi dan beberapa panggilan tak terjawab darinya karena memang sejak diantar Toni sampai Hotel aku tidak memperhatikan ponselku. Kupikir supaya tidak perlu bertele-tele mambalas chatnya, kutekan tombol telepon untuk menghubungi Andi secara langsung.

Cukup cepat Andi mengangkat teleponku, “Halo sayang.” katanya.

“Hai sayang, kamu lagi apa? Maaf ya baru bisa Sasa hubungin.” tanyaku basa-basi.

“Gapapa sayang. Emang kamu tadi ngapain? Udah selesai kan ngerjain tugasnya?”

“Udah kok, sayang. Tadi dianter pulang sama Toni.” jawabku mengabari Andi.

Memang Andi tipe orang yang cemburuan. Sering moodnya menjadi tidak baik saat tau aku dekat dengan pria lain, sekalipun sebagai teman. “Tau gitu tadi aku jemput aja, maaf ya.”

“Gapapa sayang, lagian tadi keburu. Mumpung ada yang bisa ditumpangin juga.”

“Tapi Toni langsung pulang, kan?” tanya Andi.

“Dia aku tawarin masuk sih, yang. Kusuguhin susu ke dia, kan udah anterin Sasa pulang.” ucapku menggoda Andi sambil menekankan kata susu.

Tiba-tiba dari belakang kurasakan ada tangan yang mencoba memelukku dan meraih kedua payudaraku. Aku menoleh sedikit, kulihat pak Alex sudah bernafsu menyaksikanku sedang bertelepon dengan pacarku di depannya.

“Enaknya dibikinin susu. Aku juga mau dong, yang.” pinta Andi di telepon.

“Emhhh... yaudah, lain kali Sasa buat sshhh... in.” jawabku, sambil was-was karena beberapa kali desahkanku tidak tertahan atas cubitan jari pak Alex pada ujung putingku.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Andi.

“Ssshhh... Ghh.. gapapa kok, say...” ucapanku terpotong karena tiba-tiba ponselku bergetar.

Ternyata baru saja Andi menekan permohonan panggilan video. Akupun kaget dan menunjukkan layar ponselku kepada pak Alex yang berada di belakangku.

0 komentar:

Posting Komentar